1. Profil
Khawārij (Arab: خوارج baca ‘Khowaarij’), secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar". Istilah khawarij muncul pertama kali dalam sejarah Islam pada abad ke-1 H (pertengahan abad ke-7 M), dilatarbelakangi oleh pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dan Muawiyah bin Abi Sofyan.
Disebut sebagai Khawarij karena mereka keluar dari kepemimpinan Khalifah Ali RA. (milal wa nihal 1/114).
Selanjutnya didefinisikan sebagai; “mereka yang keluar dari Imam (pimpinan) yang haq dan telah disepakati bersama, baik pada masa Khulafa Rasyidin maupun masa setelahnya. (milal wa nihal 1/114). Sementara Ibn Hazm menambahkan, pengertian tersebut berlaku terhadap siapa saja yang mengingkari pemimpin baik di masa kepemimpinan Sahabat Ali RA, maupun setelahnya, juga berlaku bagi siapa saja yang memiliki pemikiran yang sama dengan kelompok tersebut.
khawarij masa kini
Khawarij dari perspektif perbedaan antar klan disebutkan sebagai;
“Mereka yang memerangi pemimpin dan kaum muslimin dengan senjata, serta mengajak pada ‘pemahaman’ mereka baik agama maupun politik.”
“Mereka yang menganggap kafir terhadap orang yang melakukan maksiyat, serta menentang pemimpin dan kaum muslimin.”
Kedua definisi ini lebih tepat karena mencakup pengertian khawarij sebagaimana awal mula kemunculan istilah tersebut, meskipun kelompok ini tidak menggunakan nama ‘khawarij’ atau bahkan menumpang pada kelompok lain yang ada.
Kesimpulan :
Khawarij adalah segolongan umat islam yang memerangi pemimpin dan umat islam karena alasan akidah atau ideology yang mereka paksakan terhadap orang lain, serta mengangap kafir orang lain yang tidak sepaham.
Jenis dan Macam Khawarij
Tidak semua khawarij boleh diperangi, dianggap sesat atau masuk neraka. Untuk membedakan mereka, perlu diketahui jenis-jenis khawarij beserta alasan tindakan penentangan mereka terhadap pemimpin sah.
Setidaknya terdapat empat jenis khawarij, yaitu;
‘Keluar’ atau menentang pemimpin yang sah dengan membawa ‘kemarahan agama’, disebabkan pemimpin meninggalkan ajaran Al Qur’an maupun Sunnah Nabi, (seperti yang dilakukan oleh Husein bin Ali RA, melawan Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah. Zaid bin Ali Zainal Abidin, melawan Hisyam bin Abdul Malik salah seorang khalifah dari dinasti Bani Umayyah. dll.)
‘Keluar’ dari pemimpin berdasarkan pemahaman berbeda namun diperkuat dengan dalil Qur’an dan Hadis, seperti yang dilakukan beberapa sahabat Nabi dalam perang Jamal dan Shiffin, karena mereka menentang Ali RA bukan untuk menuntut kekuasaan, tapi hanya meminta Ali RA menegakkan hukum dengan menangkap semua yang terlibat dalam pembunuhan terhadap khalifah Usman RA.
Mereka yang ‘keluar’ membelot karena inginkan kekuasaan atau alasan duniawi, bukan ideologi. Mereka ini di sebut bughat (sparatis) yang harus diperangi.
Mereka yang membelot dan memprovokasi orang lain untuk memeluk ‘mazhab’ atau keyakinannya, terkadang disertai dengan pemaksaan. Mereka ini dianggap menyelisihi ‘pondasi syariah’, karena bertentangan langsung dengan Hadis Rasul dalam peristiwa Zul Khuwaisirah atau yang melahirkan khawarij Al Harury.
Bagian keempat ini harus diperangi karena membahayakan umat. Bahaya yang ditimbulkannya lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh bughat. Karena bughat menghentikan gerakan makarnya jika telah mendapat konpensasi harta atau kekuasaan. Sementara perlawanan berdalih akidah tidak berhenti memerangi umat sampai umat Islam mengikuti kehendak mereka.
Asal Mula Khawarij
Terdapat beberapa peristiwa yang mencatat kemunculan kelompok khawarij. Namun peristiwa paling terkenal adalah terjadi pada masa Nabi dan masa kepemimpinan Khalifah Ali RA.
Pada masa hidup Nabi SAW.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa RAsulullah menerima kiriman dariSahabat Ali RA di Yaman, berupa bongkahan emas, kemudian Rasul membagikannya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid al-Khail, dan ‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Tiba-tiba seseorang menyela dengan berkata; “ya Rasulallah, berbuat adilah”.
Rasulullah menjawab “celaka kau, siapa yang akan berbuat adil jika aku tidak adil”. Mendapat jawaban itu, orang itupun pergi.
Sahabat Umar RA menawarkan diri untuk memenggal orang yang lancang tersebut, namun nabi melarangnya dan bersabda;
“Biarkan dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut, di mana kalian merendahkan (menganggap kecil) shalat kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka. Mereka membaca al-Qur’an tapi tidak sampai ke tenggorokan. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya ….” (Muttafaqun ‘aIaih).
Catatan:
Orang yang memprotes kebijakan Nabi tersebut bernama Hurqush Bin Zuheir As Sha'dy atau dikenal dengan Dzul Khuwaishirah, tercatat sebagai khawarij pertama dalam Islam karena memprotes dan menolak kebijakan Nabi.
Peristiwa kedua pada masa kekhalifahan Ali RA.
Setelah Khalifah Usman bin Affan dibunuh oleh pemberontak, kaum muslimin mengangkat Ali RA sebagai khalifah. Namun, Muawiyah yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Syam (Suriah), menolak membaiat Ali. Muawiyah yang masih berkerabat dengan Usman, meminta balas (Qishash) atas kematian Usman RA.
Mu'awiyyah berpendapat bahwa semua orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman harus di-qishash yakni dibunuh. Sedangkan Ali berpendapat sesuai syariat, yang dibunuh hanya pelaku pembunuhan saja. Masalahnya, pembunuhan tersebut dilakukan secara beramai-ramai, dan tidak dapat dipastikan siapa pelaku sebenarnya, sehingga pihak Ali RA kesulitan melaksanakan qishas atau hukuman terhadap pelaku pembunuhan tersebut.
Sementara pihak Mu’awiyah terus menuntut pembalasan, hingga akhirnya memicu terjadinya ‘perang shiffin’. Kemudian kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata, di saat pasukan Ali RA telah diambang kemenangan.
Jalan damai ini oleh segolongan tentara Ali tidak disetujui karena itu berarti mereka tidak akan mendapat harta rampasan yang akan dibagi-bagikan kepada yang turut berperang dipihaknya. Tidak puas dengan keadaan ini, mereka tinggalkan barisan Ali dan membentuk kekuatan sendiri yang kemudian dikenal dengan nama kaum Khawarij, atau mereka yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.
Masalah politik ini ternyata mereka tingkatkan dan kaitkan dengan iman dan kufur, yaitu masalah Islam atau tidak Islamnya seseorang. Kelompok tersebut berdalih pada bunyi ayat 44 dari surat al-Ma’idah mengatakan: siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah ditentukan Allah, adalah kafir. Sementara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang menyelesaikan persengketaan mereka tidak dengan berdasar pada theologi, tetapi dengan mengikuti kembali tradisi tahkim (arbitrase) yang sudah biasa dilakukan di zaman jahiliah.
Dengan demikian Ali dan Muawiyah dalam pandangan Khawarij, telah menjadi kafir karena kembali pada metode jahiliyah. Karena kafir dan telah keluar dari Islam, maka harus dibunuh.
Mereka kemudian merencanakan makar untuk membunuh Ali dan Mu’awiyah. Namun dalam upaya makar ini, Mu’awiyah berhasil lolos dari upaya pembunuhan.
Catatan:
Pada perkembangannya kemudian, kaum khawarij terbagi dalam sekte-sekte atau kelompok. Ada yang mengatakan lebih dari 20 sekte, ada yang menyebut 12 sekte, 10 sekte, atau bahkan hanya empat sekte. Namun, hampir semua sekte memperbolehkan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Termasuk membunuh seperti yang mereka lakukan terhadap Khalifah Ali RA.
Pokok Pemikiran
Secara umum, pokok pemikiran golongan ini adalah:
Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir.
Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir.
Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi khalifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
Tipologi dan Karakteristik Khawarij
Kelompok khawarij tidak selalu terorginisir, tersetruktur atau memiliki pimpinan tertinggi, tergantung motif sebab dan pendorong kemunculannya. Namun mereka pasti hanya mengakui pemipin versi mereka sendiri.
Mereka hampir pasti dan selalu mengedepankan kekerasan, tidak menggunakan metode interaksi ‘bil hikmah wal hasanah’, sekalipun terhadap pihak yang tidak memperlihatkan rasa permusuhan terhadap mereka. Kalaupun mereka merubah ‘penampakan keras’ tersebut, itu biasanya karena untuk kemaslahatan mereka sendiri, seperti untuk melindungi diri dari kekuatan negara yang memeranginya.
Kelompok ini terdiri dari banyak sekte, penyebabnya adalah sikap mereka mudah berbeda pendapat dan berkeras memegang pendapatnya itu.
Mereka adalah orang-orang pemberani, cepat tersinggung, banyak ibadah, fashih bicara dan selalu berkata benar, serta tekun dan sabar melayani debat.
Seputar Khawarij
Dalam soal politik, kemunculan khawarij bersamaan dengan kemunculan Syiah, yaitu paska terjadinya pertikaian antara kubu pembela Ali RA dan kubu pembela Mu’awiyah. Kubu yang kecewa terhadap keputusan Ali RA menerima gencatan senjata menjadi kelompok Khawarij, sementara yang tetap mendukung keputusan Ali RA sebagai golongan Syi’ah. Adapun perdebatan soal akidah setelah itu, memunculkan kelompok mu’tazilah, murji’ah, juga qadariyah.
Khawarij sebelum kemunculannya adalah bagian besar dari elemen pasukan Ali RA. yang bertekad memerangi Mu’awiyah. Kekecewaan mereka terhadap Khalifah Ali, karena Ali menghentikan perang saat hampir memenanginya. Untuk alasan politik, mereka tidak menjadi pemenang, bahkan merasa kalah karena menuruti tindakan Amr bin Ash yang dianggap licik, yaitu mengajak gencatan senjata dengan mengalungkan Al Qur’an di ujung tombak, pada saat terancam akan kalah. Adapun dari sisi ekonomi, mereka kehilangan kesempatan memperoleh bagian harta rampasan perang.
Terdapat faktor lain yang menyebabkan keluar ‘khawarij’ dari pemimpin karena menolak cara kepemimpinan yang tetapkan secara turun menurun dengan cara ‘warisan’ baik di era kekuasaan Bani Umayyah maupun Bani Abasiyah.
Letak perbedaan antara kaum khawarij dan kelompok-kelompok Islam mainstream lainnya, terutama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni), adalah ‘tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara’, sehingga ‘tujuan baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula,’ sementara khawarij menghalalkan perusakan massal asal menurut mereka itu dapat menyebabkan tercapai tujuannya.
Khawarij Kontemporer?
Munculnya kelompok-kelompok radikal sekarang ini terdapat keserupaan baik secara ideologis maupun teologis dengan kaum khawarij masa lalu. Ciri-cirinya antara lain;
Keluar (kharij) alias tidak mengakui pemerintah (Pemimpin) yang sah. Sebab, ketaatan bagi mereka hanya kepada pemimpin mereka sendiri.
Siapa pun pihak yang berbeda pandangan dengan mereka dianggap sebagai musuh yang harus diperangi karena dipandang sebagai kafir.
Kaum khawarij hampir selalu muncul dalam sepanjang perjalanan sejarah Islam. Mereka memandang Khalifah (pemerintah/ulul amri) yang menyeleweng dari ajaran Islam, musti dibunuh.
Dalam pandangan kaum khawarij, hanya Khalifah Abu Bakar as-Siddik dan Khalifah Umar bin Khattab yang dapat dikatakan adil dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam. Sedangkan Usman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA mereka anggap menyeleweng dan memerintah tidak berdasarkan syariat, sehingga kedua khalifah terakhir tersebut layak dibunuh.
Kelompok keras masa kini, diantaranya merencanakan pembunuhan terhadap pemimpin Negara yang dianggap tidak mengamalkan aturan berdasarkan Syariat Islam, bahkan mereka juga melakukan beberapa pemboman dan pembunuhan terhadap sesama kaum muslimin.
Sampai saat ini belum didapat ‘sanad’ jalinan keilmuan yang menyembungkan antara kelompok radikal saat ini dengan kelompok-kelompok khawarij masa lalu. Namun satu-satunya benang merah yang yang menyambungkan keduanya adalah kemiripan prinsip dan ajaran, yaitu menentang pimpinan dianggap zalim dan membunuhnya jika pemimpin dianggap berbuat dosa-dosa.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar